Bahwa dunia ini memanglah panggung sandiwara terbuka. Dimana kita saling menonton peran orang lain dan menonton pun mengambil peran sebagai penonton di panggung itu. Kita menjalani skenario cerita berdasarkan karakter dan cara masing masing, semuanya serba otodidak, alami. Dan, setiap kisah manusia itu, dengan penyuntingan yang tepat akan menampilkan kisah epik yang mengagumkan. Setiap orang memiliki epiknya sendiri sendiri, konfliknya sendiri sendiri juga klimaksnya sendiri sendiri. Penderitaan digambarkan sebagai semangat, sedangkan kesedihan dilukiskan sebagai harapan. Setiap kata dari dialognya bercita rasa sastra yang tinggi, mengayun ayunkan langkah setiap cerita. Para pemain sandiwara terbuka itu juga merangkap sebagai si pengarang cerita, berdasarkan ambisi yang memerlukan dosis kecil realitas. Orang berselingkuh dari hatinya sendiri semata mata karena takut akan kehidupan. Dunia, isinya melulu cerita tentang hubungan antar pribadi, dengan pemahaman pribadi pula. Persilangan dua pribadi membentuk sinergi dunia kecil dimana si pribadi saling hidup dan tinggal didalamnya, mengukir kisah riwayat diri didalamnya.
Berfikir tentang panggung sandiwara sedikit menyejukkan, bahwa pada saat ini dengan apapun yang dikerjakan dan alami juga rasa, adalah memerankan satu karakter dalam panggung sandiwara itu. Hanya pemeran saja, tanpa berhak memilih peran apa yang kita mau atau tidak sukai. Sebagian orang tampak harus membawakan peran yang lebih tragis dan mengerikan. Diri cuma bisa memandang, memperhatikan dan mencoba menganalisa bagaimana orang lain mengambil perannya masing masing. Setiap peran yang dilakoni memiliki tingkat kesulitan berbeda beda dengan standar pengukuran yang tidak baku. Peran diri menjalani apa yang dijalani sekarang juga hasil jerih payah diri menyusun cerita tentang akhir yang bahagia, tapi apa daya terkadang skenario dalam hidup tidak dapat dengan mudah diatur dan direkayasa karena keterlibatan peran peran lain dalam alur cerita kita. Jalan cerita bisa saja melambungkan pemerannya ke langit ke tujuh, dan pula menghempaskan sang pemeran menjadi serpihan debu dalam latar belakang kisah penderitaan.
Setiap kita dibekali dengan kemampuan untuk mempelajari peran peran lain. Yang mungkin lebih menantang, ataupun lebih mudah. Peran peran tersebut membentuk sinergi tentang sebuah alur cerita mengenai bagaimana panggung yang megah ini menjadi hidup dengan segala intrik dan strategi. Mengaitkan setiap babak cerita menjadi resensi atas kebolehan manusia memainkan perannya masing masing. Akhir cerita mungkin tidak akan mudah ditebak seperti layaknya sinetron yang marak di televisi. Akhir cerita dari sandiwara dunia di panggung nan megah ini terkadang pun tidak ada akhirnya. Setiap penonton bahkan diminta menterjemahkan sendiri apa yang terjadi ketika sebuah peran sampai di episode akhir. Pun begitu, sandiwara tetap saja berlangsung, bergulir karena keharusan seperti layaknya bumi yang berputar. Apapun akhir yang akan dimiliki oleh setiap peran, tentu saja tercipta dari kontribusi pemeran itu sendiri, dan bagaimana pun itu, akhir tetap saja menjadi akhir. Dimana sebuah peran memperoleh batasan tampil, dan menyimpan kisah cerita yang dimainkannya, sampai diperoleh kata...TAMAT untuk perannya sendiri; nanti jika si pemeran mati. Tapi panggung sandiwara toh tetap terus memainkan cerita, sambung menyambung dari setiap cerita individu menjadi sebuah sejarah peradaban manusia…
Semestinya kita ikhlaskan saja semua kejadian, sebab kita hanya menjalankan peran di panggung sandiwara terbuka itu meskipun dengan kejujuran tertinggi sekalipun…
*Percakapan pikiran matahari dan embun pagi di sudut bumi yang sepi suatu ketika.
Jakarta – Lampung, August 29, 2006