“Orang Indonesia memang berbakat menjadi kritikus” celetuk pak Keith Loveard, seorang wartawan senior koresponden majalah asing yang sudah di Indonesia sejak 1962, pada suatu siang diruangan kerjaku yang tenang. “It is so easy to say ‘everything is not good enough’”. Aku merenung dalam. Aku orang Indonesia dengan nenek moyang orang Indonesia. Tetapi pemikiranku yang tumpul justru disentakkan oleh pandangan analitikal dari seorang yang neneknya moyangnya entah dibelahan bumi mana.
Gotong royong, sekarang tak lagi kudengar gaungnya. Diganti dengan budaya baru. Semua hal sudah ada petugasnya, sudah ada pegawainya. Bahkan petugas pembersih jalanan, petugas pembersih selokan, bahkan semua ruang publik telah memiliki petugasnya sendiri sendiri. Petugas petugas ini diorganisir oleh instansi instansi bisa swasta bisa negeri, atau sub kontraktor subkontraktor. Orang jadi kehilangan sense of belonging, roso handarbeni, hangrungkebi, hangroso wani. Cuek, toh sudah ada petugas yang mengurusnya.
Orang jadi mudah mengkritik ‘ini tidak benar, itu salah, si anu tidak becus', dan bermacam kritik negatif yang senada. Bahkan sampai kepada elemen sosial terbawah yaitu tingkat RT sekalipun, orang akan memandang pak RT sebagai petugas yang bertanggung jawab atas semua hal dilingkungannya, dan dengan mudah melontarkan kritik distruktif. Melihat sampah menggunung atau jalan bopeng bopeng dilingkungan, orang akan lebih mudah meng-komplain bahwa pengelola kebersihan atau pengelola jalan bahkan pelaku pemerintahan tidak becus, tidak professional ketimbang berupaya melakukan sesuatu hal untuk membereskanya, misalnya inisiatif gotong royong.
Dalam istilah intelijen, type orang orang seperti itu apalagi yang punya akses ke media massa dan rajin melontarkan kritik seperti itu diistilahkan sebagai WTS, bukan wanita tuna susila melainkan si Waton Suloyo; dimana setiap kebijakan maupun keputusan disikapi dengan kritik negatif dan sinis pesimistik. Kesukaanya hanya komplain dan komplain, kemudian atas fasilitas media komplain itu menjadi konsumsi public yang akhirnya membentuk opini. Kesukaan itu jadi membudaya dan mengakar sampai ketingkat rakyat jelata. Mungkinkah ini karena efek laten dari kebebasan pers? Wah, kok aku jadi ikutan latah jadi WTS? Karena salah satu sifat WTS ini adalah dengan enteng menunjuk orang lain atau lembaga lain sebagai kambing hitam.
Setelah tujuh tahun reformasi, apakah negeri kita ini akan terus melangkah ‘mundur’?. Kalau kita menengok sedikit ke China yang mengambil start pada era yang hampir sama yaitu 1998 ketika Uni Soviet membubarkan diri sebagai negara Union, China merasa tertantang untuk membangun diri dengan perombakan total (yang di Indonesia dinamakan reformasi), mulai dari kebijakan pemerintahan, ekonomi, penegakan hukum, politik, yang pada giliranya ikut merubah juga tatanan sosial dan budaya. Reformasi di China memberlakukan sistim yang ketat dan samarata, dan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara negara. Hasilnya, China dalam tempo tujuh tahun telah berhasil mencatat prestasi gilang gemilang hampir disegala bidang. Pada saat yang sama kita masih berkutat dengan ketidak percayaan dan kebanggaan menjadi WTS. Reformasi diartikulasikan sebagai sebuah gerakan ganti suasana, dengan ribuan konsep yang selalu di aborsi sebalum sempat teruji. Zaman serba instant, demikian juga orang ingin menganggap reformasi adalah salah satu produk jadi dengan hasil instant.
Memang tidak semua tokoh, tidak semua orang lantas menjadi WTS. Akan tetapi kecenderungan untuk asal mencela itu mau tidak mau membentuk prinsip pemikiran subyektif bagi banyak orang terutama yang tidak merasa puas dengan keadaan, apalagi yang kecewa. Yang akan terjadi adalah reformasi demi reformasi, konsep demi konsep dengan Indonesia sebagai kelinci percobaanya. Stop waton suloyo (asal mencela), cancut taliwondo, kencangkan ikat pinggang. Konsep dari masyarakat madani bukan semata kebebasan meng-komplain dan mengkritik, tetapi tanggung jawab nurani dari semua penghuni negeri untuk mencapai kemajuan disegala bidang. Aturan dan undang undang dibuat sebagai cermin penegas disiplin nurani, bahwa kita menuju kehilangan budaya malu.
Gotong royong, sekarang tak lagi kudengar gaungnya. Diganti dengan budaya baru. Semua hal sudah ada petugasnya, sudah ada pegawainya. Bahkan petugas pembersih jalanan, petugas pembersih selokan, bahkan semua ruang publik telah memiliki petugasnya sendiri sendiri. Petugas petugas ini diorganisir oleh instansi instansi bisa swasta bisa negeri, atau sub kontraktor subkontraktor. Orang jadi kehilangan sense of belonging, roso handarbeni, hangrungkebi, hangroso wani. Cuek, toh sudah ada petugas yang mengurusnya.
Orang jadi mudah mengkritik ‘ini tidak benar, itu salah, si anu tidak becus', dan bermacam kritik negatif yang senada. Bahkan sampai kepada elemen sosial terbawah yaitu tingkat RT sekalipun, orang akan memandang pak RT sebagai petugas yang bertanggung jawab atas semua hal dilingkungannya, dan dengan mudah melontarkan kritik distruktif. Melihat sampah menggunung atau jalan bopeng bopeng dilingkungan, orang akan lebih mudah meng-komplain bahwa pengelola kebersihan atau pengelola jalan bahkan pelaku pemerintahan tidak becus, tidak professional ketimbang berupaya melakukan sesuatu hal untuk membereskanya, misalnya inisiatif gotong royong.
Dalam istilah intelijen, type orang orang seperti itu apalagi yang punya akses ke media massa dan rajin melontarkan kritik seperti itu diistilahkan sebagai WTS, bukan wanita tuna susila melainkan si Waton Suloyo; dimana setiap kebijakan maupun keputusan disikapi dengan kritik negatif dan sinis pesimistik. Kesukaanya hanya komplain dan komplain, kemudian atas fasilitas media komplain itu menjadi konsumsi public yang akhirnya membentuk opini. Kesukaan itu jadi membudaya dan mengakar sampai ketingkat rakyat jelata. Mungkinkah ini karena efek laten dari kebebasan pers? Wah, kok aku jadi ikutan latah jadi WTS? Karena salah satu sifat WTS ini adalah dengan enteng menunjuk orang lain atau lembaga lain sebagai kambing hitam.
Setelah tujuh tahun reformasi, apakah negeri kita ini akan terus melangkah ‘mundur’?. Kalau kita menengok sedikit ke China yang mengambil start pada era yang hampir sama yaitu 1998 ketika Uni Soviet membubarkan diri sebagai negara Union, China merasa tertantang untuk membangun diri dengan perombakan total (yang di Indonesia dinamakan reformasi), mulai dari kebijakan pemerintahan, ekonomi, penegakan hukum, politik, yang pada giliranya ikut merubah juga tatanan sosial dan budaya. Reformasi di China memberlakukan sistim yang ketat dan samarata, dan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara negara. Hasilnya, China dalam tempo tujuh tahun telah berhasil mencatat prestasi gilang gemilang hampir disegala bidang. Pada saat yang sama kita masih berkutat dengan ketidak percayaan dan kebanggaan menjadi WTS. Reformasi diartikulasikan sebagai sebuah gerakan ganti suasana, dengan ribuan konsep yang selalu di aborsi sebalum sempat teruji. Zaman serba instant, demikian juga orang ingin menganggap reformasi adalah salah satu produk jadi dengan hasil instant.
Memang tidak semua tokoh, tidak semua orang lantas menjadi WTS. Akan tetapi kecenderungan untuk asal mencela itu mau tidak mau membentuk prinsip pemikiran subyektif bagi banyak orang terutama yang tidak merasa puas dengan keadaan, apalagi yang kecewa. Yang akan terjadi adalah reformasi demi reformasi, konsep demi konsep dengan Indonesia sebagai kelinci percobaanya. Stop waton suloyo (asal mencela), cancut taliwondo, kencangkan ikat pinggang. Konsep dari masyarakat madani bukan semata kebebasan meng-komplain dan mengkritik, tetapi tanggung jawab nurani dari semua penghuni negeri untuk mencapai kemajuan disegala bidang. Aturan dan undang undang dibuat sebagai cermin penegas disiplin nurani, bahwa kita menuju kehilangan budaya malu.
Bukankah itu akan lebih memalukan jika terjadi?
Kost simatupang, 16 November 2005.
Kost simatupang, 16 November 2005.
No comments:
Post a Comment