Malam lebaran, kutembus desa desa dalam perjalananku. Tak ada kemeriahan kutemukan. Aku kehilangan masa kecilku yang riang penuh kegembiraan. Orang orang, berpasang pasangan berkumpul diwarung warung atau tempat tempat berlampu listrik terang. Takbir tak riuh berkumandang, hanya suara samar dari loudspeaker masjid, mungkin suara tape. Kampung jadi sepi, euphoria menyambut datangnya hari lebaran yang selama berpuluh tahun bersarang didalam kepalaku lenyap entah kemana. Semua berjalan biasa saja, seperti besok adalah hari biasa saja. Kampungku sepi, suara anak anak dengan oncor yang berbaris atau bergerombol mengumandangkan takbir keliling kampung (seperti waktu aku kecil dengan semangat baja melakukannya) tak ada lagi. Jalan jalan tanah yang dulu jadi rute tempuhanku sudah beraspal, listrik dari lampu merkuri 300watt terang benderang menerangi prapatan, episentrum kehidupan kampungku. Dibawahnya anak anak muda bergerombol, menyambut lebaran dengan alcohol dan ganja!!!
Kulewati kota dimalam takbiran dalam perjalananku. Mobil mobil bak terbuka, mengangkut puluhan manusia. Berpeci, sebagian bersarung. Ada wanita, anak anak dan laki laki. Corong loudspeaker diatas kabin mengumandangkan takbir dengan iringan musik dari tape recorder. Mulut mulut diatas mobil rapat terkatup, takjub pada pemandangan lampu lampu kota dan kemeriahanya diwaktu malam. Beriring iringan mobil dengan sarat penumpangnya, entah dari mana, entah mau kemana. Aku hanya ingin lewat, melaju menuju tempat yang kutuju. Dan…dusun dusun makin sunyi, seperti besok tak ada sesuatu terjadi.
Allahuakbar…allahuakbar…wallilahilhamd……Takbir menggema dalam hati, bersama sunyi dan kecut hati…mengiring penat perjalanan 687 kilometer diatas sepeda motorku. Bathin menangisi kemeriahan masakecilku yang lesap ditelan arus tehnologi. Pohon pohon bambu apus pemasok lampu oncor tak gampang lagi ditemukan, tak banyak lagi diperlukan.Anak anak kehilangan dunianya terganti dengan tontonan televisi, kehilangan inisiatif apalagi kreatifitas. Menjauh dari alam, menjauh dari kehidupan mula mula, menjadi generasi munafik penuh kepraktisan. Melanjutkan catatan zaman dengan kepribadian plastik, hati elektronik, dan mental karbitan.
Dan lebaran tiba ketika matahari muncul diangkasa. Masjid ramai orang sholat Ied, dengan baju baju baru dan kendaraan berjejer bagai pajangan dagangan di pasar loak. Usai sholat pulang, bersalam salaman dengan hati dangkal belaka. Minal aidzin wal faidzin, selamat idul fitri mohon maaf lahir bathin. Kemana anak anak? Tak ada bergerombol datang untuk “balal”. Tak ada orang kerja, setiap rumah televisi menyala. Disanalah anak anak lebih nyaman menikmati lebaran. Kegembiraanya terkurung oleh pencipataan kreasi yang kerdil. Tontonan tivi lebih menemani, dan ‘balal’ hanya dilakukan kepada orang orang tua yang datang kerumah. Tak perlu uang saku, apalagi kompilasi kue kue. Baju barupun biasa, bisa beli kapan saja. Kegembiraan bisa didapat kapan saja. Lebaran hanya hari libur biasa saja!
Greget masakecil tak kunjung tiba. Baju baru dan uang saku, kompilasi kue kue dari rumah kerumah tetangga. Hari bahagia sedunia, hari dimana aku menjadi raja. Mercon dan kembang api bersahutan meninmpahi kegembiraan hati. Tak ada orang bekerja. Semua orang baik hati dan dermawan, sepanjang jalan orang berjualan; cao, es cendol, pecel, bakwan, mentho, sampai bakso atau apapun yang kita mau. Perut penuh, hati riang, uang saku tersedia dan jajan terlaksana dengan baju baru, sandal baru, kopiah baru juga celana baru. Tak ada tugas rumah, tak ada kewajiban sekolah, tak ada orang marah marah. Semua orang tersenyum dan tertawa. Semua pintu rumah terbuka pertanda kita diundangnya; menikmati hidangan sesudah pura pura meminta maaf. Hari bahagia, tak ada letih menyapa sampai senja. Orang orang perantau dari kota berdatangan pulang, berpakaian kekaguman, dan beraroma ketakjuban. Betapa hebatnya menjadi orang kota! Cerita tentang negeri negeri perantauan dan tempat tempat diantah berantah ribuan mil dari jangkauan fikiran, serba menggiurkan. Aku ingin berpakaian kekeaguman dan beraroma ketakjuban; menjadi yang paling sempurna!
Lebaran 2005, hati kecut mengangisi kenangan yang hilang ditelan zaman. Tinggal ritual imitasi dan tipis makna. Aku rindu masakecilku yang hilang…
Jakarta-Boyolali-Baturetno, 3-4 November 2005.
Kulewati kota dimalam takbiran dalam perjalananku. Mobil mobil bak terbuka, mengangkut puluhan manusia. Berpeci, sebagian bersarung. Ada wanita, anak anak dan laki laki. Corong loudspeaker diatas kabin mengumandangkan takbir dengan iringan musik dari tape recorder. Mulut mulut diatas mobil rapat terkatup, takjub pada pemandangan lampu lampu kota dan kemeriahanya diwaktu malam. Beriring iringan mobil dengan sarat penumpangnya, entah dari mana, entah mau kemana. Aku hanya ingin lewat, melaju menuju tempat yang kutuju. Dan…dusun dusun makin sunyi, seperti besok tak ada sesuatu terjadi.
Allahuakbar…allahuakbar…wallilahilhamd……Takbir menggema dalam hati, bersama sunyi dan kecut hati…mengiring penat perjalanan 687 kilometer diatas sepeda motorku. Bathin menangisi kemeriahan masakecilku yang lesap ditelan arus tehnologi. Pohon pohon bambu apus pemasok lampu oncor tak gampang lagi ditemukan, tak banyak lagi diperlukan.Anak anak kehilangan dunianya terganti dengan tontonan televisi, kehilangan inisiatif apalagi kreatifitas. Menjauh dari alam, menjauh dari kehidupan mula mula, menjadi generasi munafik penuh kepraktisan. Melanjutkan catatan zaman dengan kepribadian plastik, hati elektronik, dan mental karbitan.
Dan lebaran tiba ketika matahari muncul diangkasa. Masjid ramai orang sholat Ied, dengan baju baju baru dan kendaraan berjejer bagai pajangan dagangan di pasar loak. Usai sholat pulang, bersalam salaman dengan hati dangkal belaka. Minal aidzin wal faidzin, selamat idul fitri mohon maaf lahir bathin. Kemana anak anak? Tak ada bergerombol datang untuk “balal”. Tak ada orang kerja, setiap rumah televisi menyala. Disanalah anak anak lebih nyaman menikmati lebaran. Kegembiraanya terkurung oleh pencipataan kreasi yang kerdil. Tontonan tivi lebih menemani, dan ‘balal’ hanya dilakukan kepada orang orang tua yang datang kerumah. Tak perlu uang saku, apalagi kompilasi kue kue. Baju barupun biasa, bisa beli kapan saja. Kegembiraan bisa didapat kapan saja. Lebaran hanya hari libur biasa saja!
Greget masakecil tak kunjung tiba. Baju baru dan uang saku, kompilasi kue kue dari rumah kerumah tetangga. Hari bahagia sedunia, hari dimana aku menjadi raja. Mercon dan kembang api bersahutan meninmpahi kegembiraan hati. Tak ada orang bekerja. Semua orang baik hati dan dermawan, sepanjang jalan orang berjualan; cao, es cendol, pecel, bakwan, mentho, sampai bakso atau apapun yang kita mau. Perut penuh, hati riang, uang saku tersedia dan jajan terlaksana dengan baju baru, sandal baru, kopiah baru juga celana baru. Tak ada tugas rumah, tak ada kewajiban sekolah, tak ada orang marah marah. Semua orang tersenyum dan tertawa. Semua pintu rumah terbuka pertanda kita diundangnya; menikmati hidangan sesudah pura pura meminta maaf. Hari bahagia, tak ada letih menyapa sampai senja. Orang orang perantau dari kota berdatangan pulang, berpakaian kekaguman, dan beraroma ketakjuban. Betapa hebatnya menjadi orang kota! Cerita tentang negeri negeri perantauan dan tempat tempat diantah berantah ribuan mil dari jangkauan fikiran, serba menggiurkan. Aku ingin berpakaian kekeaguman dan beraroma ketakjuban; menjadi yang paling sempurna!
Lebaran 2005, hati kecut mengangisi kenangan yang hilang ditelan zaman. Tinggal ritual imitasi dan tipis makna. Aku rindu masakecilku yang hilang…
Jakarta-Boyolali-Baturetno, 3-4 November 2005.
No comments:
Post a Comment