: nonon
Di sabana maya sebutir debu jiwa mengelana meratapi penghuninya, pada suatu ketika saat prasangka lenyap diserap bumi yang terpijak kaki. Berpendaran dari sisi ke sisi ruh, mengetuk nurani demi nurani dengan kehendak yang polos mengharap harap. Dia mengelana laksana kupu kupu, senyap dalam pengembaraanya yang sendirian kehilangan rantai metamorfosa kodrati.
Langkah terhenti pada teduh berwarna ragu pada sisi sisinya, gemetar memasuki alam hayali dengan pedang bernama rasionalitas terhunus lemah. Mengetuk kaca jendelanya ketika embun bersiap memburamkannya. Pada rongga jiwa yang teduh itu ia pasrahkan catatan pengembaraan tertulis dengan darah sisa peperangan panjang melawan fikiran; kepintaran yang menjajah hati atas ribuan kekecewaan.
“Nafas dan darah yang mengaliri setiap millimeter jalinan tubuh, yang memompakan segenap energi kesetiap penjuru dalam rangkaian rumit urat dan syaraf adalah anugerah tertinggi bagi hidup, otak yang menglirkan warna dalam dimensi bentuk adalah keajaiban yang hanya patut untuk disyukuri, teman baru…” ucapmu membunuh semua gelisah penyesalan, menghentikan letih upaya memunguti serpihan kenangan yang hancur berantakan. Kesombongan menghambur kelantai, belum siap dengan pujian!
Dari letih yang menelikung asa, mimpi tentang utopia mengalir bagai banjir. Satu tempat yang hanya berisi cinta, satu tempat dimana kematian mutlak milik sang alam. Katakan, tunjukkan dimana secuil tanah impian itu berada, dari semilyar tempat yang pernah engkau singgahi meski ia takkan sanggup mencari, setidaknya menyemayamkanya dalam mimpi jadi penghiburan mujarab ketika kegilaan siap dengan kemenangan.
Percakapan sebutir debu jiwa pada teduh berwarna ragu dalam kubus ruang maya menghamburkan ketenteraman tiba tiba. Betapa, utopia itu hadir dalam hati dan jiwa tanpa hukum materi yang angkuh membentengi. Tali temali aturan budaya bumi manusia yang terperangkap ruang bentuk dan gengsi menjadi lumpuh dan mati, ketika hanya nurani dan jalan setapak fikiran menjadi bahasa percakapan. Pada realita, sebutir debu jiwa bukanlah apa apa selain pengembara tanpa harga dan bentuk hakiki…
Terimakasih teman baru, untuk percakapanmu yang menenteramkan hati…
Kost Simatupang, 09 Oktober 2005, 2355hrs.
Di sabana maya sebutir debu jiwa mengelana meratapi penghuninya, pada suatu ketika saat prasangka lenyap diserap bumi yang terpijak kaki. Berpendaran dari sisi ke sisi ruh, mengetuk nurani demi nurani dengan kehendak yang polos mengharap harap. Dia mengelana laksana kupu kupu, senyap dalam pengembaraanya yang sendirian kehilangan rantai metamorfosa kodrati.
Langkah terhenti pada teduh berwarna ragu pada sisi sisinya, gemetar memasuki alam hayali dengan pedang bernama rasionalitas terhunus lemah. Mengetuk kaca jendelanya ketika embun bersiap memburamkannya. Pada rongga jiwa yang teduh itu ia pasrahkan catatan pengembaraan tertulis dengan darah sisa peperangan panjang melawan fikiran; kepintaran yang menjajah hati atas ribuan kekecewaan.
“Nafas dan darah yang mengaliri setiap millimeter jalinan tubuh, yang memompakan segenap energi kesetiap penjuru dalam rangkaian rumit urat dan syaraf adalah anugerah tertinggi bagi hidup, otak yang menglirkan warna dalam dimensi bentuk adalah keajaiban yang hanya patut untuk disyukuri, teman baru…” ucapmu membunuh semua gelisah penyesalan, menghentikan letih upaya memunguti serpihan kenangan yang hancur berantakan. Kesombongan menghambur kelantai, belum siap dengan pujian!
Dari letih yang menelikung asa, mimpi tentang utopia mengalir bagai banjir. Satu tempat yang hanya berisi cinta, satu tempat dimana kematian mutlak milik sang alam. Katakan, tunjukkan dimana secuil tanah impian itu berada, dari semilyar tempat yang pernah engkau singgahi meski ia takkan sanggup mencari, setidaknya menyemayamkanya dalam mimpi jadi penghiburan mujarab ketika kegilaan siap dengan kemenangan.
Percakapan sebutir debu jiwa pada teduh berwarna ragu dalam kubus ruang maya menghamburkan ketenteraman tiba tiba. Betapa, utopia itu hadir dalam hati dan jiwa tanpa hukum materi yang angkuh membentengi. Tali temali aturan budaya bumi manusia yang terperangkap ruang bentuk dan gengsi menjadi lumpuh dan mati, ketika hanya nurani dan jalan setapak fikiran menjadi bahasa percakapan. Pada realita, sebutir debu jiwa bukanlah apa apa selain pengembara tanpa harga dan bentuk hakiki…
Terimakasih teman baru, untuk percakapanmu yang menenteramkan hati…
Kost Simatupang, 09 Oktober 2005, 2355hrs.
1 comment:
Keep up the good work Poker+betting losing weight pill a diagramas de decoficador tv Pictures custom mitsubishi eclipse Oral sex and oral sex tranny Double jogging safari schwinn stroller http://www.mature-tit.info
Post a Comment